Ahad siang, saat kami keluar dari DTC nampak seorang lelaki
tua dengan rambut yang sudah memutih duduk di kursi tempat parkir mobil dengan
wajah yang menyiratkan kelelahan. Kulihat beberapa lembar kertas bergambar
aneka binatang. Aku berniat membeli satu lembar saja kertas bergambar itu,
meskipun di rumah sudah ada dan telah penuh coretan Faiz. Ku gandeng tangan
Faiz menghampiri lelaki tua itu.
“Berapa harganya Pak?” tanyaku
“Tiga ribu aja.”
Hmm dulu aku pernah beli di Pasar Minggu, seingatku lima
ribu bisa dapat tiga lembar. Namun, melihat lelaki tersebut aku tidak tega
menawarnya.
“Saya beli satu aja Pak. Uangnya nanti ya Pak, kalau suami
saya sudah sampai sini. Sekarang baru di parkiran ambil motor.”
“Ya ga papa.” Sahutnya.
“Bapak tinggal di mana?”, tanyaku kemudian.
“Di Mampang.”
“Asli sini atau dari mana asalnya Pak?”
“Saya dari Cilacap.”
“Wah saya dari Jogja Pak?”
Perbincangan kami berlanjut dengan bahasa Jawa sampai
akhirnya suamiku datang.
“Pak, ini uangnya.” Kusodorkan uang Rp. 5000,-. “Sisanya
buat bapak.”
“Kalau begitu ambil satu lagi ya?” Lelaki tua itu
menyodorkan beberapa lembaran kertas untuk kupilih.
“Terima kasih Pak, tapi kami sudah punya di rumah.”
“Ambil satu lagi aja, yang mana?”
Akhirnya aku pilih gambar yang sama. Heran, lelaki itu tidak
mau menerima kelebihan uang dengan cuma-cuma. Lelaki itu kemudian berkata
kepadaku.
“Nek seneng menehi, rejekine ditambah.” Petuahanya dengan
logat bahasa Jawa.
Ah, lelaki tua itu meski dalam kepayahan dalam keuangannya
namun dalam kesempitannya itu masih teringat tentang keutamaan sedekah.
Aku jadi teringat sedekah yang utama salah satunya adalah
ketika kita sedang sangat membutuhkan.