Jadilah seperti pohon yang akarnya menghujam ke bawah, batangnya tegak, menghasilkan buah yang menyegarkan dan tajuknya menaungi memberikan kesejukan
Tampilkan postingan dengan label bunda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bunda. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Februari 2015

Kisah VBAC Ku (Part 1)

Nanti kalau melahirkan berarti sesar lagi.
Begitulah kalimat yang sering kudengar ketika saudara maupun temen-temenku mendengar jawabanku saat melahirkan Faiz anak pertamaku dengan persalinan sesar.

Kalau sudah sesar tidak mungkin bisa melahirkan normal.
Pernyataan sebagian besar teman-temanku saat mengetahui bahwa nantinya kalau melahirkan anak kedua aku ingin dengan persalinan normal, aku pasti sesar lagi begitu menurut kata-kata mereka.

Banyak sanggahan-sanggahan yang menyiutkan nyali ketika aku ingin melahirkan secara normal atau VBAC (Vaginal Birth After Caesarian). Namun tekadku sudah bulat. Kalau orang lain bisa VBAC, kenapa aku tidak bisa? Aku ingat sebuah kalimat yang kudapatkan dari sebuah artikel yang sangat menggugah semangatku. Bahwa Allah SWT telah mngaruniakan kita seorang janin dalam rahim, tentu Dia pula yang akan mengeluarkan. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna, diciptakan-Nya rahim maka diciptakanNya juga jalan rahim. Rasa sakit saat kontraksi pun merupakan salah satu sistem tubuh dalam membantu seorang bayi keluar dari rahim ibunya. Jadi kenapa pula harus takut dengan rasa sakit kontraksi. Jika seorang wanita tidak takut hamil, kenapa pula harus takut menghadapi sakitnya kontraksi.
Yah setiap ibu yang akan melahirkan tentunya akan merasakan sakit. Banyak para ibu yang akhirnya memilih untuk melahirkan sesar karena tidak ingin merasakan sakitnya kontraksi dan melahirkan secara normal. Pernah suatu hari temanku bercerita kepadaku bagaimana dia melahirkan secara sesar.
“Kalau nanti mau melahirkan aku pilih sesar saja. Cepet tidak merasakan sakit. Kalau normal itu sakit banget,” kata temanku.
“Ah masa sih mbak. Kalau saya malah ingin normal saja. Aku sudah merasakan bagaimana sakitnya setelah melahirkan sesar. Untuk bangun saja susah, harus latihan miring dahulu, itupun sakit banget. Aku nggak mau sesar lagi,” kata ku.

Oh tidak! Jika kalian berpikiran seperti itu salah besar. Pengaruh jahitan sesar itu justru lebih sakit setelah melahirkan. Terbayang saat itu seperti teriris-iris bekas bagian yang disesar ketika mau menggerakkan badan. Mau memiringkan badan saja susah, apalagi mau duduk.
---------
Allah SWT telah berfirman dalam kitab Alquran yang menggambarkan bagaimana saat Maryam, Ibunda Nabi Isa AS melahirkan.
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” QS Maryam : 23
Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” QS Maryam : 24
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. QS Maryam : 25
Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu... QS Maryam: 26
Siti Maryam, ibunda nabi Isa AS merasakan begitu sakitnya saat akan melahirkan hingga terlontar kalimat “...alangkah baiknya aku mati sebelum ini...” QS Maryam : 23. Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita akan putus asa sebelum datangnya usaha?
Yah, aku tidak ingin sesar lagi jika nanti melahirkan. Jika mengingat masa-masa saat melahirkan pertama kali, rasa sakit itu kembali terbayang.

Maka sejak ada keinginan untuk hamil anak kedua, aku mencari referensi tentang VBAC serta tenaga kesehatan/ bidan/dokter kandungan yang pro VBAC dari internet hingga kabar gembira itu datang, dimana aku dinyatakan positif hamil.
Selama kehamilan yang kedua aku banyak belajar sehingga tidak terlalu “rewel” seperti kehamilan sebelumnya dan mempersiapkan diri agar bisa VBAC.
Adapun persiapan tersebut adalah:
1.   Mempersiapkan mental kita bahwa nantinya kita akan melahirkan bayi yang tentunya akan merasakan sakitnya kontraksi. Persiapan mentan ini dilakukan dengan senantiasa beribadah kepada Allah SWT, membaca buku/artikel yang berkaitan dengan pra, saat dan pasca persalinan terutama tentang VBAC. Diupayakan tidak hanya bunda saja yang belajar, tetapi para ayah juga harus belajar bagaimana menghadapai masa persalinan.
2.         Mencari bidan/dokter kandungan yang pro normal. Agak susah mencari bidan/dokter kandungan yang bersedia membantu persalinan VBAC. Di kehamilanku yang kedua ini saya kontrol ke bidan dan dokter kandungan. Pada awalnya dokter  kandunganku itu mau membantuku untuk VBAC, namun hingga minggu ke 38 saat kepala bayi belum masuk panggul dan belum ada tanda-tanda perut kencang, dia bilang kepadaku kalau nantinya aku bisa sesar lagi. Kata-kata itu membuatku gelisah hingga aku utarakan ke bidanku dan beliau bilang bahwa aku harus yakin bisa, selalu berdoa kepada Allah SWT, dan tawakkal.
3.         Makan makanan yang baik, halal dan bergizi.
4.         Rajin sujud, mengerjakan pekerjaan rumah, jalan kaki, berolahraga.
5.         Mempersiapkan planning yang tepat, seperti: mau melahirkan dimana, dengan siapa, bagaimana jika ternyata saat persalinan VBAC ada kendala, dll.

So... bagi bunda maupun ayah yang akan menyongsong kelahiran sang buah hati, harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Tetap semangat, berpikiran positif, dan hadapi persalinan dengan tenang. 

Senin, 17 Juni 2013

Petuah Lelaki Tua



Ahad siang, saat kami keluar dari DTC nampak seorang lelaki tua dengan rambut yang sudah memutih duduk di kursi tempat parkir mobil dengan wajah yang menyiratkan kelelahan. Kulihat beberapa lembar kertas bergambar aneka binatang. Aku berniat membeli satu lembar saja kertas bergambar itu, meskipun di rumah sudah ada dan telah penuh coretan Faiz. Ku gandeng tangan Faiz menghampiri lelaki tua itu.
“Berapa harganya Pak?” tanyaku
“Tiga ribu aja.”
Hmm dulu aku pernah beli di Pasar Minggu, seingatku lima ribu bisa dapat tiga lembar. Namun, melihat lelaki tersebut aku tidak tega menawarnya.
“Saya beli satu aja Pak. Uangnya nanti ya Pak, kalau suami saya sudah sampai sini. Sekarang baru di parkiran ambil motor.”
“Ya ga papa.” Sahutnya.
“Bapak tinggal di mana?”, tanyaku kemudian.
“Di Mampang.”
“Asli sini atau dari mana asalnya Pak?”
“Saya dari Cilacap.”
“Wah saya dari Jogja Pak?”
Perbincangan kami berlanjut dengan bahasa Jawa sampai akhirnya suamiku datang.
“Pak, ini uangnya.” Kusodorkan uang Rp. 5000,-. “Sisanya buat bapak.”
“Kalau begitu ambil satu lagi ya?” Lelaki tua itu menyodorkan beberapa lembaran kertas untuk kupilih.
“Terima kasih Pak, tapi kami sudah punya di rumah.”
“Ambil satu lagi aja, yang mana?”
Akhirnya aku pilih gambar yang sama. Heran, lelaki itu tidak mau menerima kelebihan uang dengan cuma-cuma. Lelaki itu kemudian berkata kepadaku.
“Nek seneng menehi, rejekine ditambah.” Petuahanya dengan logat bahasa Jawa.
Ah, lelaki tua itu meski dalam kepayahan dalam keuangannya namun dalam kesempitannya itu masih teringat tentang keutamaan sedekah.
Aku jadi teringat sedekah yang utama salah satunya adalah ketika kita sedang sangat membutuhkan.

Senin, 18 Maret 2013

Akhirnya, Dia telah Kusapih




Proses penyapihan setiap orang kepada buah hatinya berbeda-beda. Proses itu bisa berlangsung cukup lama atau justru sangat singkat. Jangka waktu proses itu ditentukan oleh kesiapan antara bunda dan buah hati, serta faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi proses tersebut.

Sejak faiz belum berumur 1 tahun, bunda sering membaca kata WWL. Kenapa membaca bukan mendengar? Tentu saja, karena bunda tidak pernah mendengar kata WWL dari teman maupun saudara. Saya mengetahui WWL itu dari internet. 

WWL itu menurut informasi yang saya dapat dari internet tidak lain adalah menyapih dengan cinta (weaning with love), di mana dalam proses penyapihan itu kita perlu melaksanakannya dengan rasa cinta kepada buah hati, bukan dengan memaksa atau berbohong, seperti mengolesi bethadine di puting biar dikira sedang sakit, mengolesi jamu-jamuan biar jika si buah hati nenen terasa pahit, mengolesi garam biar terasa asin, dll, sehingga tidak mau nenen lagi. Nah, cara-cara seperti tadi -dengan megolesi sesuatu diputing -yang justru diajarkan oleh saudara-saudara saya yang lebih tua. Setiap mereka memberikan saran seperti itu, saya hanya bilang “ Saya tidak mau membohongi Faiz dengan mengolesi seperti itu. Biarlah nanti pada waktunya faiz akan tahu dan akan berhenti nenen menurut kemauannya.” 

Proses penyapihan Faiz kumulai saat dia berumur 2 tahun. Dua minggu berlalu sejak umurnya 2 tahun, Faiz sakit dan akhirnya kuberikan ASI padanya, karena kuyakin ASI ku masih mengandung antibodi yang diperlukan untuk Faiz. Namun, efek dari pemberian ASI ini mengubah pola penyapihan yang kuterapkan sebelumnya. Faiz makin ingin minta nenen, dan jika tidak dituruti dia akan menangis. Akhirnya aku menyerah juga. Menyerah untuk mengambil langkah yang jitu untuk menyapih faiz. 

Sampai Faiz berumur 2 tahun lebih 1 bulan, Faiz masih minta nenen . Hingga tiba waktunya, aku dan Faiz sakit batuk pilek sehingga aku harus tidur terpisah dengannya. Setiap malam, abinya yang menemaninya tidur dan menyediakan susu untuknya ketika dia terbangun. Hal itu berjalan hingga hampir 2 minggu. Hingga saat ini, dia sama sekali tidak minta nenen kepadaku. Alhamdulillah, dibalik sakitku ini Engkau memudahkan proses penyapihan ini. Dan, akhirnya aku telah menyapih buah hatiku. Aku bilang padanya, “Faiz sudah gede, jadi gak nenen lagi ya”.

Thanks to:
Abi Faiz Triyanto yang bersedia membantu selama proses penyapihan.

Minggu, 03 Maret 2013

Di Bawah Terik Matahari



Terik matahari begitu menyengat di siang hari itu. Selepas berkunjung ke rumah teman di Jl. Rawa Geni, aku dan faiz mencari ojek untuk mengantar kami menuju jalan raya. Namun, sesampainya di pangkalan ojek, kami tidak menemukan satupun tukang ojek. Oh my God, terbayang aku harus berjalan jauh bersama faiz di bawah terik matahari. Suara adzan Dhuhur melantun dengan merdunya saat kaki-kaki kami melangkah pelan. Faiz yang berada disampingku berjalan dengan penuh semangat. Dia tidak menghiraukan teriknya panas. Kebahagiaannya melupakan rasa lelahnya berjalan.

Kami terus berjalan. Sesekali aku berhenti untuk menggendong faiz. Kasihan kalau ia berjalan terus, terlebih lagi jalan ramai penuh lalu lalang kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi. Kalau sudah keberatan menggendong faiz dan jalanan mulai menurun atau jalan rata/agak rata, ia kuturunkan. Dan setelah turun, faiz pun kembali berjalan dengan penuh gaya dan celotehan. Aku takjub dengan semangatnya, dia tak pernah kenal lelah. Sama sekali tidak ada keluhan darinya. Semangatnya memberikan diriku semangat untuk segera sampai di jalan raya menuju Citayam.

Jalan kembali menikung. Kapankah kami sampai tujuan? Maklumlah aku baru dua kali lewat jalan ini. Saat pertama kali lewat jalan ini, aku diantar oleh abinya faiz. Jadi, kali ini aku lupa berapa tikungan lagi yang harus kulalui lagi. Di depan sudah terbentang jalan menanjak. Aku harus menggendong faiz lagi. Dalam gendonganku faiz begitu gembira sambil melihat motor dan mobil yang berlalu lalang. Ketika jalan mulai rata, faiz kuturunkan. Saat itulah aku melihat banyak kendaraan. Itu artinya kami sudah tidak jauh lagi dari jalan raya, pikirku. Kulihat dengan cermat, dan ternyata benar itu jalan raya. Alhamdulillah, “Faiz kita sudah mau nyampe nih.”

Kami menyebarangi rel kereta api dengan cepat dan gesit, karena perlintasan rel ini tidak ada penjaga resminya. Yang ada hanyalah penjaga pintu sukarela dari warga kampung. Saat kami akan menyeberang, jalan raya begitu ramai. Begitu kami menyeberang, datang angkot menghampiri kami. Terima kasih kepada sopir angkot yang tidak mau dibayar karena tidak bisa sampai ke tempat tujuan hingga akhirnya kami harus naik ojek dari Stasiun Citayam. Dalam perjalanan pulang, faiz terlelap dalam tidurnya. Alhamdulillah kami selamat hingga sampai rumah.